skip to main |
skip to sidebar
Asas Kewarganegaraan
Asas kewarganegaraan adalah pedoman dasar bagi suatu negara untuk
menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Setiap negara
mempunyai kebebasan untuk menentukan asas kewarganegaraan mana yang
hendak dipergunakannya. Dari segi kelahiran, ada dua asas
kewarganegaraan yang sering dijumpai,yaitu ius soli dan ius sanguinis.
Sedangkan dari segi perkawinan, ada dua asas pula yaitu asas kesatuan
hukum dan asas persamaan derajat.
Untuk lebih jelasnya satu persatu asas-asas tersebut akan diuraikan
sebagai berikut:
1. Dari Segi Kelahiran
Terdapat dua macam asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran, yaitu ius
soli dan ius sanguinis. Kedua istilah ini berasal dari bahasa latin.
Ius berarti hukum, dalil atau pedoman sedangkan soli berasal dari kata
solum yang berarti negeri, tanah, atau daerah. Sehingga ius soli berarti
pedoman yang berdasarkan tempat atau daerah. Kaitannya dengan asas
kewarganegaraan, ius soli berarti kewarganegaraan seseorang ditentukan
oleh tempat kelahirannya. Orang yang lahir di negara akan memperoleh
kewarganegaraan dari negara tersebut. Asas yang ke dua adalah ius
sanguinis berarti pedoman yang didasarkan kepada darah atau keturunannya
atau orang tuanya . Orang yang lahir dari orang tua warga negara akan
memperoleh kewarganegaraan dari negara itu.
Terdapat negara yang menganut asas ius soli, dan ada pula yang menganut
asas ius sanguinis. Dewasa ini umumnya kedua asas ini dianut secara
simultan. Perbedaannya, ada negara yang lebih menitikberatkan pada
penggunaan ius sanguinis, dengan ius soli sebagai kekecualian.
Sebaliknya terdapat pula penggunaan asas ius soli , dengan ius
sanguinis sebagai kekecualian.
Penggunaan kedua asas secara simultan ini dimaksudkan untuk menceagah
status apatride atau tidak berkewarganegaran (stateless). Artinya
apabila terdapat seseorang yang tidak memperoleh kewarganegaraan dengan
penggunaan asas yang lebih dititikberatkan oleh negara yang
bersangkutan, masih dapat memperoleh kewarganegara dari negara tersebut
berdasarkan asas yang lain.
Kondisi sebaliknya jika sebuah atau beberapa negara menganut asas
kewarganegaraan berdasarkan kelahiran yang berbeda-beda, dapat
menimbulkan masalah bipatride atau dwi kewargenageraan
(berkewarganegaraan ganda), bahkan multipatride (berkewarganegaraan
banyak atau lebih dari dua). Sebagai contoh, Negara menganut asas ius
sanguinis, sedangkan negara menganut asas ius soli. Maka setiap orang
yang lahir di negara dari orang tua yang berkewaganegaran, akan
mempunyai status baik sebagai warna negara maupun negara karena ia
keturunan warga negara ia pun memperoleh status warga negara karena ia
lahir di negara.
Jika seseorang lahir di negara dari orangtua warga negara, ia akan
berstatus apatride. Ia ditolak oleh negara orang tuanya (negara), sebab
ia tidak lahir di sana.Ia pun ditolak oleh negara tempat ia lahir
(negara), karena negara tersebut menganut asas ius sanguins. Artinya
menurut ketentuan negara, ia seharusnya memperoleh kewarganegaraan dari
negara orang tuanya.
Pada mulanya hanya ada satu asas yaitu ius soli, karena hanya
beranggapan bahwa karena lahir suatu wilayah negara, logislah apabila
seseorang merupakan warga negara dari negara tersebut. Akan tetapi
dengan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan asas lain
yang tidak terbatas pada tempat kelahiran semata. Orang tua tentu masih
mempunyai ikatan dengan negaranya sendiri. Masalah akan timbul ketika
kewarganegaraan anaknya berlainan dengan kewarganegaraan orang tuanya
sendiri. Anak memperoleh kewarganegaraan dari tempat ia dilahirkan ,
sedangkan orang tuanya tetap berkewarganegaraan dari negara asal. Atas
dasar itulah muncul asas yang baru, yaitu ius sangunis tersbut. Dengan
asas ini kewarganegaraan si anak akan mengikuti kewarganegaraan
orangtuanya.
Sebagian besar negara imigratif pada prinsipnya lebih menggunakan ius
soli sebagai asas kewarganegaraannya. Sebaliknya, negara emigratif
(negara yang warga negaranya banyak merantau ke negara lain) cenderung
menggunakan asas kewarganegaraan ius sanguinis. Keduanya mempunyai
alasan yang sama, yaitu negara yang bersangkutan ingin mempertahankan
hubungan dengan warganegaranya. Negara emigratif ingin tetap
mempertahankan warga negaranya. Di manapun mereka berada, mereka tetap
merupakan bagian dari warga negaranya. Sebaliknya negara imigratif
menghendaki agar warga barunya secepatnya meleburkan diri ke dalam
negara yang baru itu.
2. Dari Segi Perkawinan
Melalui perkawinan lahirlah dua asas, yaitu asas kesatuan hukum dan asas
persamaan derajat. Sebuah perkawinan dapat menyebabkan terjadinya
perubahan status kewarganegaraan seseorang. Masalah kewarganegaraan
dalam konteks ini akan muncul apabila terjadi suatu perkawinan
campuran,yaitu suatu perkawinan yang dilangsungkan oleh para pihak yang
berbeda kewarganegaraannya. Munculnya kedua asas ini berawal dari
kedudukan pihak wanita di dalam perkawinan campuran itu.
Asas kesatuan hukum bertolak dari hakikat suami isteri ataupun ikatan
dalam keluarga. Keluarga merupakan inti masyarakat dan masyarakat akan
sejahtera apabila didukung oleh keluarga-keluarga yang sehat dan tidak
terpecah. Kehidupan suami isteri yang baik mencerminkan satu kesatuan
keluarga yang utuh dan harmonis, dan ini tercipta karena terdapatnya
satu kesatuan yang utuh dan bulat dalam keluarga, dan untuk mencapai
kesatuan dalam keluarga diperlukan satu kepatuhan terhadap hukum yang
sama.
Terdapat nilai-nilai positif dari penyelenggaraan kehidupan keluarga
tersbut apabila para anggota keluarga itu tunduk pada hukum yang sama,
misalnya dalam masalah keperdataan: pengaturan harta kekayaan, status
anak, dan lain-lain. Karena itu akan baik dan bahagia sebuah rumah
tangga jika dalam keluarga tersebut memiliki kewarganegaraan yang sama
yang secara otomatis tunduk pada satu hukum yang sama.
Permasalahannya, siapakah yang harus mengikuti kewarganegaraan
pasangannya? Apakah suami harus mengikuti kewarganegaraan isterinya
ataukah sebaliknya? Pada kedua sisi ini dapat saja kedua-duanya terjadi
sebagai satu pilihan. Akan tetapi dalam praktik pihak isterilah yang
mengikuti kewarganegaraan suaminya.
Sebagai reaksi dari penggunaan asas ini, muncul satu bentuk protes dari
kalangan perempuan yang menganggap bahwa dengan asas ini seolah-olah
atau kaum perempuan berada pada derajat yang bawah atau bertentangan
dengan prinsip emansipasi wanita yang selama ini diperjuangkan kaum
perempuan. Dalam prinsip emansipasi wanita, laki-laki sama saja dengan
perempuan dan tidak mau untuk dibeda-bedakan. Sebagai reaksi dari rasa
ketidakadilan ini muncul asas baru yaitu asas persamaan derajat.
Pada asas persamaan derajat ini ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak
menyebabkan berubahnya satus kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik
pihak suami maupun pihak isteri tetap memiliki kewarganegaraan asalnya,
sama ketika mereka melangsungkan perkawinan.
Dari sisi kepentingan nasional masing-masing negara asas persamaan
derajat ini mempunyai aspek yang positif. Asas ini jelas dapat
menghindari terjadinya penyelendupan hukum. Misalnya, seseorang yang
berkewarganegaraan asing yang ingin memperoleh status warga negara
tertentu berpuran-pura melakukan perkawinan dengan seorang warga negara
dari negara yang dituju. Melalui perkawinan itu, orang tersebut
memperoleh kewarganegaraan yang diinginkan. Setelah status
kewarganegaraan diperoleh, maka dapat saja bercerai kembali. Untuk hal
ini banyak negara mengatur masalah penggunaan asas ini dalam peraturan
kewarganegaraannya.
Seperti halnya asas ius soli dan ius ius sanguinis, penggunaan dua asas
kesatuan hukum persamaan derajat yang berlainan dapat menimbulkan status
bipatride dan apatride, khususnya bagi wanita. Melalui perkawinan
seseorang wanita dapat mempunyai kewarganegaraan lebih dari satu.
Sebaliknya melalui perkawinan pula seorang wanita dapat kehilangan
kewarganegaraannya.
sumber : http://kobi-kobi.tripod.com/news.html
0 komentar:
Posting Komentar