Turun! Ganti! Mundur! Kata-kata itu sering terdengar dalam setiap unjuk rasa. Hakikat pemimpin yang pada awalnya disegani atau bahkan ditakuti malah tidak mempunyai wibawa sama sekali dalam negara demokrasi. Seolah-olah setiap pemimpin yang menjabat inginnya selalu diganti sebelum masa jabatannya berakhir. Padahal inti dari unjuk rasa adalah menyampaikan aspirasi kepada pemimpinnya dengan harapan sang pemimpin mau mendengar dan melaksanakan apa yang diinginkan oleh rakyat. Kenyataan yang terjadi saat ini, unjuk rasa lebih kepada upaya untuk mengganti pemimpin, bukan menasihatinya. Sebenarnya apakah karena rakyat kita yang tidak sabaran, ingin yang instan, atau memang karena pemimpinnya sudah tidak pantas untuk memimpin?
Ketiadaan pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyatnya ditengarai menjadi sebab maraknya aksi unjuk rasa yang berujung pada tuntutan pemberhentian. Ketidakmampuan kita dalam menemukan sosok pemimpin yang tepat bisa disebabkan oleh 2 alasan, yaitu karena sistem demokrasi kita yang salah atau memang tidak ada orang di negeri ini yang pantas untuk menjadi pemimpin. Menurut Saya sangat mustahil jika kita beranggapan bahwa dari sekian banyak penduduk Indonesia tidak ada satu pun yang bisa memimpin. Saya termasuk orang yang percaya bahwa di luar sana pasti ada orang yang pantas untuk menjadi pemimpin, yang karena suatu hal tidak diberi kesempatan untuk memimpin. Jika anggapan ini benar, maka ada yang salah dalam sistem demokrasi kita.
Sedari kecil kita sudah diajarkan mengenai pandangan politik sederhana, demokrasi itu baik komunis itu jahat. Entah apakah Anda masih percaya atau tidak, tetapi yang jelas sistem demokrasi hanya merupakan satu dari sekian banyak sistem pemerintahan yang diterapkan pada sebuah kelompok bangsa. Sistem tersebut adalah netral, tidak ada baik atau buruk, yang terpenting adalah cocok atau tidak cocok. Masing-masing kelompok bangsa, entah itu dalam bentuk negara ataupun kerajaan, menggunakan sistem pemerintahan yang cocok untuk bangsanya. Sifat dari sistem pemerintahan yang sukar untuk diubah membuat pengusung salah satu model pemerintahan cenderung berbuat anarkis melalui terorisme maupun kudeta berdarah untuk mengubah dengan paksa sistem yang dianggap usang. Hal ini pada akhirnya mencemari nama baik sistem tersebut sehingga suatu sistem pemerintahan dianggap lebih jahat dari sistem yang lain. Sebenarnya tidak peduli apakah itu sistem pemerintahan komunis, demokrasi liberal, atau bahkan kekhalifahan Islam sekalipun, semuanya harus dipandang secara netral. Pada akhirnya inti dari berbagai macam model sistem pemerintahan itu adalah bagaimana memilih pemimpin yang tepat yang akhirnya dapat menyejahterakan rakyatnya. Ketidakmampuan kita dalam memilih pemimpin yang tepat menimbulkan pertanyaan baru. Apa perlu kita ganti sistem demokrasi kita atau cukup diperbaiki?
Sistem demokrasi yang memilih pemimpin melalui mekanisme pemungutan suara banyak dilakukan oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Sistem ini dianggap paling maju, paling modern, dan paling bisa menyejahterakan rakyatnya ketimbang sistem yang lain. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, sistem demokrasi langsung yang telah lama diterapkan belum membuat rakyat kita sejahtera. Alih-alih mengganti sistem demokrasi, rakyat lebih memilih pemimpinnya yang diganti. Padahal selama sistemnya tetap sama, maka pemimpin yang terpilih akan tetap sama pula. Sebenarnya ada 3 (tiga) faktor yang menyebabkan sistem demokrasi kita gagal dalam memilih pemimpin. Faktor tersebut adalah efek anak unggas, efek ketertarikan, dan jebakan minoritas. Ketiga faktor tersebut banyak menyesatkan pemilih yang pada akhirnya cenderung memilih orang-orang yang tidak pantas untuk memimpin. Berikut ini akan saya jelaskan lebih detail mengenai faktor-faktor tersebut.
Jika Anda mengetahui anak unggas yang baru menetas, maka makhluk apapun yang dilihatnya pertama kali akan dianggap sebagai induknya. Begitu pula dalam pemerintahan otoriter tertutup yang ketika rezim berkuasa dijatuhkan, orang yang memperjuangkan kebebasan yang dulunya teraniaya cenderung akan dipilih sebagai pemimpin pada saat pemilu digelar. Bagaikan telur yang baru menetas, rakyat akan memilih pemimpin yang berteriak lebih lantang dan sering muncul di TV. Gejala ini umum terjadi pada periode transisi dari pemerintahan otoriter tertutup ke sistem demokrasi terbuka. Contoh yang nyata terjadi pada reformasi di Indonesia. Pada periode tersebut banyak orang memilih atas dasar emosi belaka bukan berdasarkan akal sehat. Orang yang bersuara paling lantanglah yang cenderung terpilih, bukan karena kemampuannya dalam memimpin. Bisa jadi ada orang yang lebih berpengalaman dan mampu untuk memimpin tetapi karena ia berada di pihak yang tergulingkan maka dia tidak akan terpilih. Terbukti pada akhirnya rakyat dikecewakan oleh para pahlawan bersuara lantang ini. Kita telah tertipu!
Demokrasi kita telah berada dalam taraf yang mengkhawatirkan, yaitu ketika para pengusaha dan artis ramai-ramai mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin. Orang-orang tersebut bukan berarti tidak bisa memimpin, bisa saja ada sebagian dari mereka yang layak untuk memimpin. Walaupun begitu, rakyat memilih mereka bukan murni karena kemampuannya dalam memimpin tetapi karena efek ketertarikan kepada calon pemimpin. Ketertarikan ini bisa disebabkan karena uang maupun latar belakan calon pemimpin yang seorang artis atau juga bekas tentara. Seorang tentara belum tentu akan menjadi pemimpin yang tegas, sekalipun dulunya ia jenderal. Seorang pengusaha bisa jadi hanya menyejahterakan dirinya, bukan rakyatnya. Seorang artis belum tentu bisa membuat kita terhibur, jika makan saja masih susah. Lewat uang dan status selebritis orang bisa diarahkan untuk memilih calon tertentu tanpa melihat apakah dia bisa memimpin atau tidak. Kita telah tertipu!
Dalam hubungan sebuah kelompok antara mayoritas dengan minoritas, ketika kelompok mayoritas itu buruk maka orang cenderung berpikir bahwa yang minoritas itu baik. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Jumlah yang sedikit tidak menunjukkan bahwa kelompok minoritas lebih baik, hanya saja karena jumlahnya yang sedikit maka keburukan yang dilakukan juga sedikit. Apabila keadaan ini dibalik, yaitu ketika minoritas menjadi mayoritas, maka kelompok tersebut bisa sama buruknya. Contohnya ketika banyak pemimpin laki-laki yang korupsi orang kemudian menganggap bahwa pemimpin wanita itu lebih bersih. Ketika jumlah petinggi wanita itu semakin banyak, maka dapat kita temui banyak pula wanita yang korupsi. Contoh yang lain lagi ketika orang menganggap bahwa politisi tua adalah lambang kebusukan, anti perubahan, dan tentunya sarat dengan korupsi. Ini terjadi pada kondisi politisi tua lebih banyak dari politisi muda. Ketika politisi muda banyak yang terpilih, banyak dari mereka yang korupsi juga.
Jebakan minoritas banyak membutakan para pemilih, bahkan para pemilih terpelajar dan idealis sekalipun. Padahal sesuatu harus dilihat per masing-masing individu, bukan dilihat pada atributnya seperti jenis kelamin, usia, agama, suku, dan sebagainya. Banyak dari kita yang masih memilih atas dasar unsur-unsur tersebut, bukan karena kemampuannya dalam memimpin. Kita telah tertipu!
Gejala dari gagalnya sistem demokrasi kita dalam memilih pemimpin dapat kita lihat pada saat kampanye. Banyak orang mengikuti kampanye bukan karena ingin mendengar calon pemimpinnya berpidato menyampaikan program-programnya, tetapi karena adanya hiburan dan hadiah yang ditawarkan. Sejatinya, para pemilih akan tetap datang menemui calon pemimpinnya bahkan jika tanpa adanya hiburan sekalipun. Yang terjadi malah calon pemimpin tersebut ikut berjoget dan bernyanyi bersama pendukungnya, sedangkan pidato hanya formalitas belaka. Selama kita belum menemukan suasana pidato seperti Bung Karno ataupun pidato presiden Amerika yang tanpa embel-embel hiburan, selama itu pula kita hanya disuguhi oleh para selebritis politik yang kerjanya mencari perhatian. Pantaslah kalau banyak dari pemimpin kita saat ini tidak punya wibawa sama sekali di mata rakyatnya.
Sistem demokrasi langsung memang sudah terlanjur menjadi sistem pemerintahan yang kita pilih, padahal belum tentu itu yang cocok. Sistem demokrasi terbuka model barat sangat cocok bagi penduduk yang rakyatnya sudah mempunyai ketegasan untuk memilih dan memiliki inisiatif sendiri tanpa harus menunggu tindakan pemerintah. Sebaliknya sistem ini tidak cocok bagi masyarakat yang mudah diombang-ambing dan penduduknya selalu ingin diatur oleh pemerintah. Sekarang Anda boleh menduga-duga penduduk kita termasuk yang tipe seperti apa.
Sistem pemilihan tidak langsung, seperti model komunisme dan kekhalifahan yang menyerahkan keputusan memilih kepada segelintir orang yang dianggap cakap untuk memilih dapat menjadi alternatif yang perlu dipertimbangkan. Walaupun begitu sistem ini nampaknya kurang diminati akibat semakin lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap orang lain untuk mewakilkan suaranya. Trauma terhadap sistem orde baru dan ketidakpedulian wakil rakyatlah yang kemudian mempertegas hal itu. Rakyat takut jika nantinya wakil mereka itu disuap sehingga nantinya tidak mampu memilih pemimpin yang baik. Hitung-hitungan sederhananya, mereka lebih memilih mereka sendiri yang disuap ketimbang wakilnya yang disuap. Pada akhirnya, para calon pemimpin pun membutuhkan uang yang lebih banyak karena lebih banyak lagi orang yang harus disuap, baik itu secara langsung maupun tidak langsung, yang kemudian berujung pada nilai korupsi yang makin besar. Karena itu tidaklah mengherankan jika korupsi yang sekarang jauh lebih parah ketimbang pada masa orde baru. Lebih lagi, ongkos pemilu pun makin besar dan lebih mahal karena harus menjangkau jumlah pemilih yang lebih banyak ketimbang melalui perwakilan.
Jika memang sistem demokrasi saat ini sulit untuk diubah, maka jalan yang bisa dilakukan adalah memperbaikinya. Hal itu dapat dimulai dari 2 (dua) pihak, yaitu partai politik dan rakyat sebagai pemilih. Anggaran kampanye partai politik perlu dibatasi untuk menjamin keadilan bagi masing-masing calon pemimpin. Ini akan membuat rakyat untuk dapat memilih karena kemampuan sang calon, bukan karena besaran uang yang diterima ataupun seringnya sang calon muncul di TV. Para penyumbang dana ke partai politikpun harus dibatasi dan ada sanksi yang mengikat bagi partai yang melanggar. Masing-masing partai juga harus menerbitkan laporan keuangan secara berkala dan diaudit secara transparan oleh auditor independen. Partai yang gagal memenuhi aturan tersebut sudah seharusnya tidak diizinkan mengikuti pemilu. Segala bentuk politik uang harus ditindak tegas apapun bentuknya. Peran media pun sangat penting dalam mengontrol pemerintah dan menjamin pemilu yang bersih.
Ketegasan menjadi kunci dalam perbaikan sistem demokrasi kita. Tentunya hal ini akan sangat sulit dilakukan mengingat pemimpin yang berkuasa juga harus memaksa partainya sendiri untuk berubah, sesuatu yang sangat berat untuk diwujudkan. Kenyataan yang terjadi saat ini masih banyak calon atau partai politik yang melanggar aturan yang dibuat. Bahkan kondisi yang paling miris adalah ketika kita melihat orang menyuap secara terang-terangan dan membagi-bagikan uang di depan layar TV tanpa ada sanksi apapun bagi mereka. Sungguh ironis! Jika hal ini terus berlangsung maka kita akan terus mengangkat pemimpin-pemimpin yang tidak mumpuni. Pada akhirnya akan lebih banyak lagi untuk rasa di jalan-jalan yang semakin anarkis dan brutal karena pemerintah tidak mau mendengar rakyatnya. Jika kondisinya sudah sedemikian parah, maka upaya untuk mengganti sistem pemerintahan bisa saja terjadi. Pada saat itu tidak perlulah kita menjadi khawatir apabila sistem pemerintahan kita berganti. Tujuan utama dari negara ini adalah untuk menuju kesejahteraan rakyat, bukan untuk menjadi negara yang demokratis. Perlu pula dipahami bahwa demokrasi tidak sama dengan kesejahteraan. Buat apa kita bebas berteriak jika kondisi rakyat tetap tidak sejahtera? Jika memang sistem demokrasi kita tidak mampu lagiuntuk diperbaiki, bukankah lebih baik jika diganti?
http://politik.kompasiana.com/2012/04/11/demokrasi-kita-telah-gagal-dalam-memilih-pemimpin
0 komentar:
Posting Komentar